05 January 2006

Jodoh dan Kedewasaan Kita...

Jodoh adalah problema yang serius, terutama bagi para muslimah.
Kemanapun mereka melangkah, pertanyaan-pertanyaan “kreatif” tiada
henti membayangi. Kapan aku akan menikah? Aku rindu seorang
pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda menggendong bayi,
kapankah giliranku dipanggil ibu? Aku jadi ragu, benarkah aku
mempunyai jodoh? Atau jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?

Jodoh serasa mudah diucap, tapi rumit dalam realita. Kebanyakan orang
ketika berbicara soal jodoh selalu bertolak belakang dari sebuah
gambaran ideal tentang kehidupan rumahtangga. Secara otomatis dia lalu
berfikir serius tentang kriteria calon idaman. Nah, di sinilah segala
sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu berawal.

Pada mulanya, kriteria calon hanya menjadi 'sebagian dari masalah',
namun kemudian justeru menjadi inti permasalahan itu sendiri. Disini
orang berlomba-lomba mengajukan “standardisasiâ” calon: wajah
rupawan, berpendidikan tinggi, wawasan luas, orang tua kaya, profesi
mapan, latar belakang keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas
keshalihan.

Ketika ditanya, haruskah seideal itu?
Jawabnya mudah, "Apa salahnya? Ikhtiar tidak apa-apa, kan?"
Memang, ada juga jawaban lain, " Saya tidak pernah menuntut. Yang
penting bagi saya calon yang sholeh saja."
Sayangnya, jawaban itu diucapkan ketika urat-urat keriput mulai
menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekedar senyum pun mahal.

Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh lebih cepat didapatkan
oleh mereka yang memiliki sifat superior ( serba unggul ).
Memperhitungkan kriteria calon memang sesuai sunnah, namun kriteria
tidak pernah menjadi penentu sukar atau mudahnya orang menikah.
Pengalaman nyata yang dialami kerap kali menjungkirbalikkan
prasangka-prasangka kita selama ini. Jodoh, jika direnungkan,
sebenarnya lebih bergantung pada kedewasaan kita.

Ramai orang merintih pilu, menghiba dalam do'a, memohon kemurahan
Allah, sekaligus menuntut keadilanNya. Namun prestasi terbaik mereka
hanya sebatas menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan untuk menjemput
kehidupan rumahtangga.

Mereka bayangkan kehidupan rumahtangga itu indah, bahkan lebih indah
dari film-film ala bintang India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang
bahwa kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku dan
ujian, diperlukan nafas kesabaran panjang, kadang kegetiran mampir
susul-menyusul. Mereka hanya siap menjadi raja atau ratu, tidak pernah
menyiapkan diri untuk berletih-letih membina keluarga.

Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan individu, hanya
dalam soal ujian dan beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih
bujang, lalu dibuai penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam
apa yang dia impikan?

Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi muda kita
menjadi manusia-manusia yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam memahami
sebuah gambar kehidupan yang ideal, namun lemah semangat ketika
didesak untuk meraih keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus
ideal, mereka menuntut orang lain yang menyediakannya. Adapun mereka
hanya cukup dengan bergoyang kaki. Kesukaran itu pada akhirnya kita
ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun.

Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh, jika kita tidak
pernah siap untuk itu?

" Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sekedar sesuai
kesanggupannya. " Q.S Al-Baqarah : 286

Dibalik fenomena "lewat nikah" sebenarnya ada bukti-bukti kasih sayang
Allah SWT.

Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu akan datang
tanpa harus dirintihkan. Kala itu hati seseorang telah bulat utuh,
siap menerima realita kehidupan rumahtangga, manis atau getirnya,
dengan lapang dada. Jangan pernah lagi bertanya, mana jodohku? Namun
bertanyalah, sudah dewasakah aku?


Renungkan hadith ini : " Sesungguhnya ketika seorang suami
memperhatikan isterinya dan begitu pula dengan isterinya, maka Allah
memperhatikan mereka dengan penuh rahmat, manakala suaminya
menggenggam telapak tangan isterinya dengan mesra, berguguranlah
dosa-dosa suami isteri itu dari sela jemarinya "

Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi' dari Abu Sa'id Alkhudzri
r.a.

Wallahua'lam Bisshawaab
----------by noname----------
-nih dia,,,, artikel yg membuat gw "sadar" akan sesuatu... thanks enda, thanks milist ti...-

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home